Berita Bisnis

Apakah Jakarta Macet Menjadi Tanda Bahwa Ekonomi Tengah Naik Atau Malah Rugi?

Akhir-akhi ini lalu lintas di Jakarta terasa semakin padat dan bahkan sampai hampir menyentuh level terparahnya, yakni setingkat dengan kemacetan yang terjadi di tahun 2019.

Bahkan pada data yang ditunjukkan oleh live traffic Tomtom Traffic Index menunjukkan bahwa pada pukul 09.30 WIB, rata-rata indeks kemacetan yang ada di Jakarta sejak pukul 07.00 hingga 09.00 WIB berada di kisaran 50 persen sampai yang terparah 63 persen. Padahal di tahun 2019 saja, kemacetan yang terjadi di Jakarta di tanggal dan waktu yang sama hanya berada pada di angka 58 – 60 persen.

Angka indeks ini menunjukkan tambahan durasi perjalanan yang harus dialami oleh para pengendara karena macet. Ini artinya ketika indeks kemacetan Jakarta yang mencapai 63 persen, maka durasi dari perjalanan akan menjadi setara dengan angka tersebut.

Di tengah kemacetan yang terus terjadi, Kementrian Keuangan memberikan pernyataan yang membuat geger. Di mana mereka menyampaikan bahwa kemacetan ini mejadi pertanda yang baik untuk ekonomi Indonesia.

Yustinus Prastowo yang merupakan staf Khusus Menteri Keuangan menyebutkan bahwa kemacetan ini mencerminkan adanya geliat ekonomi yang sudah kembali berjalan semenjak pandemi COVID-19.

“Macet menjadi salah satu indikasi bahwa ekonomi bergeliat. Tentu ini tidak mengesampingkan pentingnya membangun transportasi publik yang baik,” kata Yustinus.

Ia juga menjelaskan bahwa kemacetan dari lalu lintas ini sangat dipengaruhi oleh tingkat penjualan dari kendaraan. Di tahun 2022 sendiri, penjualan dair mobil naik 18,76 persen. Lalu sepeda motor naik 3,24 persen. Ini menjadi tanda daya beli masyarakat tetap stabil dan terjaga.

“Macet kerap menjengkelkan, namun itu representasi aktivitas masyarakat. Makin menggeliat tentu makin mampu mendorong aktivitas ekonomi. Sejalan dengan itu, pemerintah terus berupaya menjaga daya beli masyarakat dengan konsolidasi kebijakan fiskal dan moneter yang kuat,” kata Yustinus.

Tetapi ada pendapat berbeda yang disampaikan oleh Deddy Herlambang yang merupakan Direktur Eksekutif Institut Studi Transportasi (Instran). Di mana menurutnya, ada perbedaan pola pikir antara Kemenkeu dengan para praktisi transportasi.

Ia menilai tidak ada sediktpun hal baik dari kemacetan yang terjadi di jalan, di mana ini menandakan adanya kesalahan dari sistem transportasi yang adai di dalam suatu wilayah.

“Ini kalau orang ekonomi bilang kemajuan sebuah bangsa dapat diukur dari jumlah pengguna mobilnya di jalan. Tapi kalau orang transportasi seperti saya pasti akan mengatakan, kemajuan sebuah bangsa hanya diukur dari perilaku pengguna kendaraan di jalan raya,” ungkap Deddy

Keberhasilan dari pengembangan transportasi yang ada di suatu wilayah adalah saat semua penghuninya mau menggunakan angkutan umum. Pada sisi lain, pemerintah juga harus memberikan angkutan umum yang nyaman serta bisa diandalkan.

Deddy menduga bahwa pemerintah seakan-akan terlalu mendukung masyarakat untuk membeli kendaraan pribadi, padahal saat ini masyarakat dunia tengah mengajak untuk naik angkutan umum. Bahkan pemerintah sampai memberikan fasilitas pajak 0 persen untuk pembelian mobil di saat pandemi.

“Political will pemerintah lebih memilih vehicle oriented daripada transit oriented yang berguna untuk memajukan angkutan umum massal baik berbasis jalan atau berbasis rel,” sebut Deddy.

Anda mungkin juga suka...